Ditulis Oleh
Divani Truna Wijayanti, Rianti Sholihah, Winda Diyanti
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Faktamagazine- (Jakarta) Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang direncanakan mulai Januari 2025. Keputusan pengambilan kebijakan tersebut bertujuan untuk dapat meningkatkan penerimaan negara untuk dapat membiayai berbagai kegiatan negara, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Namun rupanya keputusan ini tidak hanya membawa dampak positif bagi penerimaan negara namun juga membawa kekhawatiran terutama bagi para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Kenaikan PPN berpotensi menyebabkan kenaikan pada penawaran harga barang dan jasa, sehingga konsumen cenderung menunda pembelian dan lebih cermat dalam penempatan biaya pengeluaran mereka. Hal ini dapat menurunkan daya saing produk UMKM dan memicu penurunan produksi, yang pada akhirnya mengancam kelangsungan usaha mereka.
Sebelum kita membahas dilema kenaikan PPN yang sedang hangat dibicarakan pada masyarakat berikut pengertian dari PPN, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak tidak langsung yang dikenakan pada setiap tahap peredaran barang atau jasa. Kabar mengenai diterapkannya kebijakan kenaikan PPN yang terjadi beberapa waktu lalu telah memicu berbagai diskusi pada masyarakat mengenai dampaknya terhadap perekonomian Indonesia, khususnya daya beli masyarakat dan keberlangsungan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Adapun pendapat ahli mengenai pengertian pajak yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang dikenakan ketika Pengusaha Kena Pajak (PKP) melakukan pembelian atas Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) menurut Tirsani G. Rantung (2019). Sedangkan, Menurut Badingatus Solikhah (2022) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) masukan adalah PPN yang seharusnya sudah dibayar oleh pembeli atas barang kena pajak, penerima jasa kena pajak, pengimpor barang kena pajak pihak yang memanfaatkan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean, atau pihak yang memanfaatkan jasa kena pajak dari luar daerah pabean yang berstatus sebagai PKP.
Bu Sri Mulyani Indrawati, S.E., M.Sc., Ph.D. selaku Menteri Keuangan Republik Indonesia telah beberapa kali menyampaikan mengenai rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Kebijakan ini sejalan dengan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang telah disahkan hanya perlu dijalankan dengan penyampaian yang baik kepada masyarakat. Undang-undang tersebut telah ditetapkan dalam Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Beberapa alasan mengapa pemerintah membuat keputusan untuk menaikkan PPN dari 11% menjadi 12% yaitu, Untuk peningkatan pendapatan negara, Pemerintah berharap bahwa kenaikan PPN dapat meningkatkan pendapatan negara yang dapat digunakan untuk membiayai berbagai program pemerataan pembangunan dan pengeluaran pemerintah. Selain itu, Kenaikan tarif PPN juga bertujuan untuk menyesuaikan dengan standar internasional dan praktik yang berlaku di negara-negara lain. Kemudian yang terakhir untuk memperkuat basis pajak, Dengan kenaikan PPN diharapkan dapat memperluas basis pajak dan mengurangi potensi penghindaran pajak.
Alasan tersebut sangat bagus untuk meningkatkan pendapatan negara serta membangun negara kita menjadi negara maju. Namun, hal tersebut menjadi pro dan kontra di Masyarakat ada yang beranggapan positif dan negatif. Masyarakat yang beranggapan skeptis mereka takut kenaikan PPN disalah gunakan oleh pemerintah yaitu malah masuk ke kantong pribadi mereka, hal ini didukung dengan maraknya kasus korupsi setelah dilantiknya presiden dan wakil presiden RI baru. Sedangkan, Masyarakat yang beranggapan positif mendukung kenaikan PPN dengan harapan bahwa selain peningkatan pendapatan negara, Masyarakat juga berharap dapat meningkatkan pemerataan pembangunan di seluruh daerah terutama di desa-desa atau pelosok. Dengan kenaikan PPN masyarakat juga mengharapkan peningkatan dari kualitas kerja pemerintah di seluruh penjuru negeri ini. Dari opini-opini tersebut kami melakukan observasi lapangan dengan mewawancarai beberapa masyarakat terkait kenaikan PPN, Dengan melakukan observasi secara langsung kami dapat membuktikan kebenaran dari opini-opini tersebut mengenai dampak apa saja yang dirasakan oleh masyarakat dan pelaku UMKM jika kebijakan kenaikan PPN diterapkan.
“Dulu, dengan uang Rp100.000, kami bisa membeli banyak barang. Namun sekarang, dengan kenaikan PPN, jumlah barang yang bisa dibeli jadi lebih sedikit,” ujar seorang warga, Pak Sholihun. Ia menambahkan bahwa meski demikian, kebutuhan pokok tetap harus dipenuhi, meskipun berarti mengurangi belanja barang sekunder seperti jajanan atau barang lain yang tidak esensial. Hal serupa diungkapkan oleh Pak Nanang, Pelaku UMKM. “Kebutuhan barang pokok penjualan mau tidak mau harus dibeli. Tapi, untuk mengatasi pembengkakan pengeluaran, kami harus menekan pembelian barang-barang yang dirasa tidak laku terjual,” tuturnya.
Dampak kenaikan PPN tidak hanya dirasakan oleh konsumen, tetapi juga pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Banyak pelaku usaha yang bingung menyeimbangkan harga agar tetap terjangkau oleh pembeli tanpa menimbulkan kerugian bagi usaha mereka. Pelaku UMKM harus memutar otak agar harga tetap kompetitif, terutama untuk produk-produk sekunder untuk menambah penghasilan mereka. Strategi yang ditempuh adalah menyesuaikan harga dengan kondisi pasar dan situasi masyarakat sekitar. Kenaikan PPN memunculkan harapan masyarakat agar pemerintah lebih memperhatikan dampaknya. Mereka meminta pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan tersebut, khususnya agar harga kebutuhan pokok tidak semakin memberatkan. “Kalau PPN memang harus naik, kami berharap manfaatnya benar-benar dirasakan oleh masyarakat. Misalnya, melalui peningkatan kualitas layanan kesehatan, fasilitas transportasi umum, dan fasilitas publik lainnya yang layak” ucap Pak Nanang.
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) membawa dampak signifikan bagi masyarakat, terutama dalam memenuhi kebutuhan pokok. Tanpa diimbangi peningkatan pendapatan, daya beli masyarakat terhadap barang-barang primer dan sekunder menjadi terpengaruh. Masyarakat juga berharap kenaikan PPN diimbangi dengan peningkatan pendapatan, sehingga daya beli mereka tidak terus menurun. Hanya dengan langkah yang tepat, pemerintah dapat memastikan bahwa kebijakan ini membawa manfaat yang adil dan merata.
Sumber : Tim Network (Tangerang Siber)