Oleh : Ns. Resa Ariansyah., S.Kep
Mahasiswa Magister Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia
Faktamagazine - (Artikel) Satuan Kredit Profesi (SKP) merupakan indikator utama dalam mengukur kompetensi dan pengembangan profesional berkelanjutan bagi perawat di Indonesia. Namun, proses pengumpulan SKP sebagai syarat perpanjangan Surat Izin Praktik Perawat (SIPP) menghadapi berbagai kendala, termasuk akses terbatas terhadap pelatihan, biaya tinggi, dan regulasi yang dirasa memberatkan. Kebijakan yang ada, dinilai tidak sepenuhnya relevan dengan kondisi di lapangan, terutama bagi perawat di daerah terpencil.
Surat Izin Praktik Perawat (SIPP) adalah dokumen wajib bagi perawat untuk menjalankan praktik keperawatan. Salah satu persyaratan utama untuk memperpanjang SIPP adalah pemenuhan jumlah tertentu SKP yang diperoleh melalui kegiatan pengembangan profesional berkelanjutan (P2KB). Namun, beberapa permasalahan mencuat terkait dengan pelaksanaan kebijakan ini:
1. Akses Terbatas: Perawat, terutama di wilayah terpencil, sulit mengakses pelatihan atau seminar yang diakui untuk memperoleh SKP.
2. Beban Biaya: Biaya pelatihan, seminar, dan akomodasi sering kali tidak terjangkau, terutama bagi perawat dengan penghasilan rendah.
3. Kualitas Kegiatan SKP: Tidak semua kegiatan yang diselenggarakan memiliki standar mutu yang memadai, sehingga menimbulkan keraguan terhadap efektivitas pengembangan kompetensi.
4. Kurangnya Transparansi Sistem: Proses pengumpulan dan validasi SKP sering kali tidak efisien dan memakan waktu.
Masalah – masalah ini dapat menurunkan motivasi perawat dalam melanjutkan praktik dan berdampak pada ketersediaan layanan kesehatan berkualitas di berbagai wilayah.
Merujuk pada Pedoman Pengelolaan Pemenuhan Kecukupan Satuan Kredit Profesi (SKP) Bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan peraturan KMK No. HK.01.07-MENKES-1561-2024, Setelah saya cermati kebijakan ini cukup komprehensif mencakup tiga ranah (pembelajaran, pelayanan, dan pengabdian) sehingga memastikan keseimbangan antara teori, praktik, dan kontribusi sosial dalam pengembangan keprofesian. Sistem "Plataran Sehat" yang terhubung dengan "Satu Sehat SDMK" mempermudah pencatatan, validasi, dan pelaporan SKP. Hal ini meningkatkan transparansi dan efisiensi administrasi.
Pedoman ini menyamakan proses dan kriteria pemenuhan SKP untuk seluruh profesi tenaga medis dan kesehatan di Indonesia, mengurangi ketidakseragaman antar wilayah sehingga adanya standarisasi secara nasional. Penyediaan pengaturan, berbeda untuk kondisi umum dan khusus (seperti daerah terpencil) menunjukkan adaptasi terhadap variasi situasi di lapangan, serta adanya pengakuan luas kegiatan termasuk seminar daring, workshop, pengabdian masyarakat, dan kegiatan manajerial sebagai sumber SKP memberikan lebih banyak pilihan bagi tenaga kesehatan untuk memenuhi kewajiban.
Meskipun ada pengaturan untuk kondisi khusus, tenaga kesehatan yang berada di daerah terpencil tetap menghadapi kesulitan mengakses kegiatan yang diakui, terutama yang memerlukan teknologi digital atau fasilitas tertentu. Integrasi dengan sistem digital dapat menjadi tantangan jika infrastruktur teknologi di beberapa wilayah belum memadai. Proses pengumpulan dan dokumentasi SKP, meskipun telah didigitalisasi, tetap memerlukan waktu dan usaha yang signifikan, khususnya bagi tenaga kesehatan dengan tanggung jawab kerja tinggi sehingga menjadi beban administratif bagi tenaga kesehatan.
Standar yang kompleks dalam pembagian persentase untuk setiap ranah dan penghitungan SKP berdasarkan kegiatan bisa membingungkan, terutama bagi tenaga kesehatan yang kurang familiar dengan kebijakan. Kegiatan yang bernilai tinggi dalam SKP seperti seminar internasional atau pelatihan intensif sering kali memerlukan biaya besar yang bisa memberatkan tenaga kesehatan dengan penghasilan rendah sehingga menimbulkan kesenjangan ekonomi.
Penguatan akses dan infrastruktur dengan melakukan penyediaan pelatihan gratis atau bersubsidi untuk daerah terpencil dan tenaga kesehatan dengan keterbatasan finansial. Investasi dalam infrastruktur teknologi di wilayah yang kurang berkembang untuk mendukung sistem digital SKP. Proses administrasi menjadi lebih sederhana dengan menyediakan mekanisme otomatisasi penghitungan SKP dalam sistem "Plataran Sehat" untuk mengurangi beban administratif tenaga kesehatan. Seorang manager keperawatan wajib membantu staff dalam pengumpulan, pengisian, dan pengunggahan dokumen yang diperlukan untuk validasi SKP ke dalam sistem informasi “Plataran Sehat dan SKP Platform, serta membuat panduan pengguna sederhana untuk mempermudah tenaga kesehatan memahami dan memanfaatkan sistem yang sudah terintegrasi ini.
Mendiversifikasi sumber SKP dengan menambahkan pengakuan terhadap pengalaman praktis langsung, seperti penanganan kasus klinis tertentu, sebagai alternatif pengumpulan SKP serta meningkatkan penghargaan untuk pengabdian di komunitas lokal. Fokus pada kualitas kegiatan dengan memperketat akreditasi kegiatan yang diakui untuk mencegah penyelenggaraan pelatihan atau seminar dengan kualitas rendah, meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan melalui evaluasi rutin dan pelaporan umpan balik dari tenaga kesehatan. Peran manager keperawatan dalam hal ini, bertanggung jawab untuk mengatur dan memastikan ketersediaan program pelatihan dan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan SKP para perawat di fasilitas kesehatan. Memastikan pelatihan tersebut terakreditasi dan memenuhi standar dari Kementerian Kesehatan.
Fleksibilitas untuk standar minimum SKP, berdasarkan kondisi tenaga kesehatan, seperti beban kerja, lokasi praktik, dan pengalaman profesional perlu juga diperhatikan dalam pemenuhan Satuan Kredit Profesi (SKP) ini. Manager dapat berkolaborasi dengan kolegium dan konsil terkait penerapan standar dan validasi nilai SKP dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi diatas.